Page

Jumat, 26 November 2010

Dua Puluh Tiga November



Ada rindu terselip pilu, di tempat setelah landasan stasiun cilebut, kalimat luruh landai berebut meminta jawaban dari dialog setelah senin kita awali dengan segudang harapan. Ada sebuah kalimat bertikai, kebijakan melerai sabda yang ku baca dari seungkap petuahmu untuk perbaikan diriku dalam waktu dekat ini. Sungguh, semoga do’a kita yang di rajut air mata setiap malamnya di ijabah Sang Maha Kuasa. Akan lapangnya rizki yang di berikannya padamu dengan pekerjaan baru. Akan kelengkapan karunia yang di limpahkan padaku, kedudukan baru, ruang kerja baru, sampai rumah baru pun akan membantu menyamankan hidupku dan kita. Adakah rasa syukur merambat di selembar dinding hati yang selalu menuntut adanya sebuah cinta sejati??
                Ternyata cinta bukan tolak ukur segalanya. Dan Rindu bukan tuntutan utama pelengkap hidup yang harus dengan segera dipenuhi. Tapi Itu termasuk dalam sebuah inti dari lapisan perasaan, dalam sebuah ucapan, kokoh dengan perhitungan tajam dan hidup subur di pembuluh pikiran. Dari kita yang selalu merenda harapan sepanjang jalur angin mengurut makna. Dari Kamu, setangkup cinta di dapati dan ku kembangkan menjadi satu dunia kecil, mendekam lahan senyum...merelungi cerita tiap masa. Dan Dari aku yang selalu mengamini setiap mimpi dan do’amu. Adakah sekedar kau telusuri setiap kalimat singkat, terlunta hangat dari setiap pertemuan kita yang singkat?? Kalimat yang membagi pelajaran, bukan soal menjawab “Kapankah rindu ini akan terselesaikan?” Tanya Mu.  “Tidak akan...” kata ku pelan. Jadi tetaplah berjalan, walaupun jarak mengasah sebuah ikatan. Tetaplah bertahan, memajukan masa depan, memintal bekal untuk selamat dunia dan akhirat.

                Aku tidak sadar sore ini hujan mengguyur sebagian jalan alternatif Cibubur. Saat tatapan letih,  menoleh jendela separuh kusam di  Selasa sore menahan nelangsa. Seperti mimpi, beberapa jam lalu tepatnya siang tadi, suasana dilatari warna kebiruan langit. Merasakan jadi orang paling beruntung sedunia. Sedunia hijaunya IKI, tapi tidak begitu juga adanya. Di atas bumi masih ada langit. Dan aku hanya sebuah celah yang tidak hanya ingin menyerap sinar, tapi berusaha mampu memancarkan satu manfaat lebih dari guna pencahayaan disaat gelap. Walau dirasa semakin dewasa bukan berarti ahli dalam segalanya. Namun semakin bertambah usia, justru semakin dirasa banyak yang harus segera diperbaiki. Terlalu hebat jika ku merubah banyak hal. Cukup melengkapi yang kurang untuk dapat mengelola diri jadi seorang yang bermanfaat untuk sahabat, keluarga , orang di sekitar kita, terutama di hadapan sang pencipta. Menebalkan pernyataan bahwa tidak ada satupun yang sia-sia. Inilah wujud syukur, aku pun tidak mau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kufur. Sekecil apapun yang di dapati  dengan Cuma-Cuma ataupun bertukar rintih dan jerih payah melola arah.

                Ba’da Maghrib ini teringat lagi pada setumpuk kerinduanmu. Kesombongan  sesaat ku bukan memenuhi sebuah hasud. Semakin hari semakin sibuk. Itulah perasaan ‘nelangsa’ yang ku maksud. Kasihan aku, pada diriku sendiri, di tuntut pekerjaan yang kadang tidak memikirkan kondisi sepenuh diri. Tapi ketika membayangkan kebiruan langit nyata yang selalu kau gambarkan hampir sempurna di wadah rasio khusus untukku, seperti halnya kau bicara. Disana nampak ada keteduhan warna, bukan fatamorgana hasil kiasan, bukan reka unggahan, bukan terka rangkain kata, bukan pula penghuni imaji. Tapi ini benar-benar  nyata, yang sering kita jumpai sehari-hari. Didalamnya hangat memutih dengan awan, tak ada semburan kekhawatiran atau takut dengan dampak mengerikan dari sebuah perubahan.

                Entah ini dua puluh tiga keberapa kalinya ku lewati, seorang dewialwie yang betah tenggelam dalam ujaran kalimat hati. Ini bukan perayaan, seperi haul kemerdekaan. Tapi Dua puluh tiga November ini tidak seperti tahun kemarin tentunya. Di jerat dengan kelabilan seolah dunia hanya selebar telapak genggaman. Ada dirimu, pendamping saat ini kala banyak ucapan mempengaruhi riuh membising.  Dua Puluh Tiga Oktober kemarin perayaan kelulusan Diploma Tigamu, Dua Puluh Tiga September juga ada satu moment yang tak masuk dalam daftar kenangan. Ada keharuan, kesetiaan dan kesabaran terjalin erat.

                Selamat menjalin kenyataan dengan sebuah proses pendewasaan diri.......

Jumat, 12 November 2010

12.11.2010


Pencahayaan sore, mengandung gerik bungkam. Saat terjal terasa, waktu menarik terbit mentari untuk datang ke perhelatan senja. Disini aku masih bergelut dengan keyakinan. Sambil meniup obor ragu, takut terbakar seluruh diri sebabmu. Sore ini, Kepulan asap kopi pun melembabkan mata dengan sebuah nyanyian. Tidak begitu lantang, tapi kalimatnya menantangku untuk bangkit dan berhenti mengungkit yang telah lalu. Sadar, di kursi tempatku bersandar selama 3 tahun ini...kenangan 4 tahun lebih abadi, lebih menghancurkan dan semakin menyesatkan. Sampai aku berhasil sendiri melupakan rentetan ‘nyeri’ dalam hati.  Sampai diri tau betul pasrah dan harapan ku sebelumnya itu adalah ‘salah’. Lupakan! Sebab detikku terlalu sia-sia jika mengolah pikiran lagi untuk mengingat betapa dangkalnya hati menjalani cerita dan terbang tanpa kepastian didalamnya. Hanya ada aku dengan belas kasihan, rela sebagai pilihan dan akhirnya dientaskan tanpa pertimbangan.


Jum’at sore ini terasa lebih hangat, harum angin lebih nikmat di kecap dalam ungkapan seribu bayang, dlm lirih bahasa bathin mendesir gelagapan menghadapi perasaan baru. Lagi-lagi perasaan ini seperti saat aku di ciptakan kembali di rahim ibuku. Aku memintal benang pengharapan baru dengan jarum doa, ku jelujuri kain cinta selapang lahan hati yang ku punya. Agar senja Jum’at tak berhenti mendidik diri dengan makna seteduh kelir keunguan sederhananya langit sore.  Tertarik pada kail asa yang menggelantung indah dan ramah di ujung nirwana. Ada wewangian setarat uap embun kala hujan meluruh landas di bumi. Rintik tak peduli, gerimispun kan ku susuri. Meski tidak seranum salju, tapi sejuk menuntun bathin lebih jernih di lorong paru-paru, semilir meletupkan nafas yang ditahan keresahan. Dengan sedikit ucapan dan banyak permohonan dalam hati, aku ingin bercahaya disini dan dimana setiap raga menutur pijak. Menelurkan kebaikan dan manfaat disertai rahmat yang dikaruniakan Tuhan dalam diriku yang kerdil, sekecil apapun nikmat itu. Untuk menjadi sebuah jawaban.... bukan lagi sebagai pilihan...
            

Berharga bagiku, pelajaran dari masa lalu. Tapi, Maaf...aku tidak bisa lama bersamayam disitu. Seseorang memaksa ku untuk keluar dari sana dan langsung menjadi tokoh utama kala Jum’at sore tiba melata. Dideretan hari dia selalu sigap bergegas menarik ku pelan untuk sedikit demi sedikit keluar dan akhirnya pergi dari sana. Mencipta cerita bukan menyalahi kawan yang ku kira akan berkawan. Mengikhlaskan bahwa memang nyata sekali takar sebuah perbandingan, terutama arti dari sebuah keingkaran dan kesetiaan. Serta persahabatan yang bukan ada untuk sekedar menjadi sebuah simbol. Cinta termaktub dalam hati bukan jelma yang pantas sebagai lambang kepedulian, tapi  wujud pembuktian.
           

Walaupun aku sendiri sore ini, tapi hatiku terjaga menjajaki malam beraura. Setiap malamnya menunggu pagi dengan kehidupan baru yang lebih berarti. Tidak takut sekencang apapun denyut nadi kokoh bergetar, menghadapi lempengan jalan bertahap buat diri merangkum pendewasaan. Seraup ungkap dengan bermacam jenis deskripsi dan pernyataan berebut membisik ditelinga dan tiada jera mendoktrin pikiran, Seperti mengemis pertimbangan dan melamar diri dengan bekal khayal tanpa tujuan beralaskan terpal  keraguan .Walaupun menoleh, jangan pikir masa lalu akan banyak (lagi) memikat dan memperoleh...
           

Cukup, tak ada alasan lagi menyesali, ataupun meratapi orang-orang yang bersangkutan didalamnya. Aku mau sembuh, dari kecewa, dari segala daya upaya yang membuat diri terkurung dalam tempurung keterpurukan. Karena Anugrah Tuhan ada dalam diri bukan untuk di sia-siakan dan kelebihan bukan  tolak  ukur sebentuk kebahagiaan utuh. Aku tetap akan tersenyum meski masa laluku sanggup gelak terbahak-bahak tertawa. Setidaknya aku bukan pembalas sejati atas apa yang terjadi. Sebab tempatku berteduh di bumi bukan milik pribadi. Semua kembali pada Tuhan, yang membagi masa menjadi 4 fase dan banyak bagian. Masa lalu, sekarang, besok dan kehidupan setelah kematian... dan aku bukan insan yang penuh dengan kesucian...

Selamat hari Jum’at sore,

Bawalah Merah Jambu masa lalu turut tenggelam bersama Keunguan matahari senjamu.....


Rumahku Tempat Sujud Ku


 Imam Syafi’i, seorang imam terkenal, profesor fiqih Islam terkemuka yang sulit dicari tandingannya, bukanlah berasal dari rumah besar dan mewah. Ia lahir dari rumah bersahaja. Begitupun Imam Bukhori, penyusun hadits yang luar biasa jasanya bagi dunia, termasuk para mujahid Islam kaliber internasional. Mereka bukanlah anak-anak gedongan yang hidupnya dikelilingi fasilitas serba wah. Tidak! Mereka adalah anak-anak keluarga bersahaja yang hidup dalam rumah-rumah sederhana, tapi terpancar di dalamnya semangat penghambaan yang tinggi.

Rumah kita sekecil apapun luas bangunan dan tanahnya, seharusnya memang memiliki kemanfaatan ibadah bagi seluruh anggota keluarga. Artinya di samping rumah itu berfungsi sebagai tempat berlindung, setiap ruangnya harus merefleksikan fungsi utamanya sebagai sarana ibadah dan pusat tarbiyah robbaniyah bagi seluruh anggotanya. Itulah rumah yang aktif dan efektif alias rumah yang tidak tidur.

Sebaliknya, sebesar apapun rumah kita dengan segala fasilitas yang serba glamour jika tidak berfungsi sebagai “madrasah robbani” (pusat pendidikan) bagi seluruh anggota keluarga, rumah itu adalah rumah yang “tidur”. Rumah yang tidak berfungsi optimal sebagai pusat pendidikan yang utama dan pertama bagi seluruh anggotanya. Karena keberadaannya tidak efektif sebagai pusat pembinaan mental untuk melahirkan kader-kader Islam yang tangguh.

Adalah lumrah, bahwa ketika seseorang mulai merancang atau memilih rumah yang akan ditempati, mereka akan melihat kemanfaatan rumah itu secara fisik. Bagaimana bentuknya, atau gaya seni arsitektur mana yang lebih menarik, Eropa atau Amerika? Berapa jumlah kamar tidur, luas ruang tamu/keluarga, luas garasi, ruang dapur, kamar pembantu, kamar mandi, WC, di samping fasilitas listrik, telepon, air, dan sebagainya. Bagi orang kelebihan duit, faktor luas halaman depan dan belakang, boleh jadi akan menjadi pertimbangan untuk membeli/membangun sebuah rumah tinggal.

Selain itu, faktor pertimbangan lain yang lazim adalah, soal lingkungan. Apakah lokasi rumah dekat sekolah, rumah sakit, pasar, pusat perbelanjaaan atau pusat keramaian? Ini barangkali yang menjadi sejumlah pertimbangan seseorang untuk menempati/ membangun rumah tinggal.

Jarang atau sedikit barangkali, orang yang berpikir kemanfaatan rumah tinggalnya sebagai sarana tarbiyah (pendidikan). Yang berpikir fungsi rumahnya sebagai fungsi ibadah dalam arti luas. Agar setiap relung sudut rumahnya merefleksikan penghambaan sebuah keluarga pada Penciptanya. Sehinga si kepala keluarga tidak sibuk semata-mata memoles atau mengubah bentuk bangunannya. Tapi bagaimana ia merancang ruang-ruangnya dalam perspektif kemanfaatan ibadahnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Seperti apa contoh rumah yang berfungsi ibadah itu? Konkritnya antara lain, misal si pemilik membuat ruang/halaman khusus (jika mampu)untuk kegiatan ibadah (semisal untuk pengajian, tempat sholat, ajang diskusi positif/rapat keluarga/sanak-saudara, tempat bermalam bagi saudara-saudaranya dan lain sebagainya). Halaman yang luas yang masih tersisa misalnya, bukan semata-mata dijadikan tempat kongkow-kongkow membicarakan bisnis. Atau tempat anak-anak mereka nongkrong main gaple, atau gitaran sembari menyetel musik-musik keras. Tapi diupayakan kelebihan ruang/tanah itu untuk sarana bermain bagi anak-anak tetangga atau siapa saja.

Rumah juga akan bernilai ibadah, bila ornamen-ornamen yang menghiasi sudut-sudut ruangnya tidak melambangkan kemaksiatan atau kesombongan pemiliknya. Atau melambangkan simbol-simbol yang dilarang Islam, baik berupa lukisan, patung, foto atau hiasan lainnya. Misalnya memajang foto-foto, kalender, atau poster-poster tokoh-tokoh artis Barat/lokal bergaya sensual. (na’udzu billah min dzalik)

Sebaliknya kita hiasi ruangan tamu kita dengan cuplikan ayat Al Qur’an atau hadits yang isinya mengajak orang untuk bersegera menegakkan sholat, bersegera melakukan kebaikan, atau mengingatkan orang pada kematian. Pesan mengingat akhirat itu bisa juga kita sampaikan lewat kaset tilawah Al Qur’an atau senandung nasyid-nasyid Islami. Begitupun sekat-sekat ruangannya, sebisa mungkin ditata sedemikian rupa sehingga tidak membuat siapapun yang bertandang, bisa leluasa melihat kehidupan privasi para penghuni rumah.

Hal lain yang patut dicatat adalah, akan lebih baik jika si pemilik rumah tidak menyediakan asbak rokok, seraya memasang peringatan dalam ruangan tamunya sebuah maklumat bertuliskan “ruangan bebas rokok”.

Selain itu aspek yang tidak kalah penting untuk memfungsikan rumah sebagai pusat ibadah dan tarbiyah adalah, bagaimana membuat agenda-agenda kegiatan keluarga di dalam rumah senantiasa berorientasi pada implementasi pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Aplikasinya tidak sulit. Misalnya sepekan sekali sehabis Maghrib sampai ‘Isya wajib tilawah Qur’an bagi seluruh anggota keluarga. Subuh tepat waktu harus menjadi agenda rutin harian. Atau jika tidak bisa, minimal sepekan sekali seluruh anggota keluarga wajib bangun solat subuh tepat waktu. Sepekan atau sebulan, atau mungkin dua bukan sekali, kita mengadakan pengajian rutin keluarga. Akan lebih baik misalnya, seluruh anggota keluarga komitmen mengadakan lomba menghafal Al Qur’an, yang wajib setor hafalannya masing-masing per pekan. Dan banyak lagi model ibadah keluarga yang bisa kita kemas dalam bentuk-bentuk atraktif lainnya. Pendek kata hari-hari dalam keluarga kita seyogyanya berjalan dan berproses secara pasti menuju pada mutu penghambaan yang kian berkualitas. 

Hal-hal di atas adalah upaya untuk memfungsikan rumah-rumah kita agar bernilai ibadah. Agar fungsinya sebagai madrasah robbbani dapat berjalan optimal. Sehingga orientasinya selalu menuju pada keta’atan bukan ma’siat kepada Allah swt. Atau setidaknya, rumah kita dapat mencegah timbulnya pikiran-pikiran negatif bagi setiap orang yang bertandang ke dalamnya.

Idealnya, setiap Muslim mestinya mampu memanfaatkan rumahnya untuk menempa seluruh anggota keluarga agar menjadi Muslim/Muslimah yang sadar Islam. Tempat lahirnya generasi-generasi sadar ibadah, yang sadar dakwah, dan sadar berharokah untuk mengantarkan kemenangan Islam dan kaum Muslimin di setiap tempat tinggalnya. 

Mudah-mudahan kita tidak termasuk keluarga yang dicemo’oh Al Qur’an sebagai keluarga yang lalai. Yang rumah-rumah kita tak memberi kemanfaatan ibadah. Karena rumah-rumah kita tak lebih sebagai onggokan batu bata yang “tidur” laksana kuburan. Yang dari dalamnya hanya lahir generasi lalai sholat dan pengikut hawa nafsu (Q.S 19:59). Ya Allah, jangan jadikan kami termasuk keluarga yang hanya menambah panjang daftar generasi-generasi imitasi Barat yang tidak berdaya menghadapi rekayasa jahat musuh-musuh Islam!
Sumber : Era Muslim

Kamis, 11 November 2010

selamat hidup "Dua Puluh Tiga"




Alhamdulillah, akhirnya jadi juga….

Blog kedua terbaru saya. Setelah blog pertama luncur pada tahun  2007, bertitel ‘deskripsi hati yang abstrak’. Dari namanya saja mungkin cukup ekstrim sekali. Isinya sukar dimengerti. Ya begitulah, bisa di lihat, tidak harus dengan seksama, disana banyak sekali lika-liku suka duka yang saya lewati. Usaha menuju suatu proses.


Blog kedua ini lantas idenya melintas dan tiba-tiba muncul keinginan untuk eksis lagi lewat kalimat. Bermula ketika dua sahabat saya begitu berlomba-lomba menampilkan hal-hal menarik dalam desain maupun isi blog mereka. Saya jadi terinspirasi untuk rutin menulis lagi. Menceritakan topik yang ringan , mudah dicerna siapa saja dan sesekali mungkin menyisipkan sisi lain bagian terdalam dari diri saya lewat bait-bait estetisnya sebuah tulisan. Semoga tidak terlalu sulit dipahami oleh orang lain selain saya. Saya dipacu untuk berinspirasi lagi, membangunkan dunia imaji setelah lama saya sibuk bergelut dengan berbagai kemelut di Dunia nyata.


Di Blog teranyar ini, yang bertitelkan “Dua Puluh Tiga”, Saya sendiri tidak terlalu menghiraukan makna tersirat, ramalan atau arti khusus dibalik angka 23 tersebut. Namun moment penting kelahiran saya di Tanah Air Indonesia ini tepat pada tanggal 23 Agustus 1989 (masih muda yaa). Jadi, singkatnya, “Dua Puluh Tiga” itu menjadi salah satu pembuka kehidupan, dimana seorang saya lahir dengan sempurna dan selamat dari rahim Ibu saya tercinta. Puji Syukur selalu Saya panjatkan karena Saya di berikan suatu kehidupan, untuk tumbuh dan belajar nilai-nilai di luasnya pengetahuan dunia dengan berbagai jenis ilmu dan pendewasaan diri. “ Dua Puluh Tiga”, Awal mula kesempatan Saya dapati untuk menjadi insan di muka bumi, mengenal elemen yang melapisi setiap tahap hidup, memperoleh peran, memiliki Ayah yang mengagumkan dan berusaha menebarkan manfaat sebelum datang usia tamat.


Dua Puluh Tiga” hanya sebagai peringatan, simbol kelahiran. Pertanda dengan di lahirkannya Blog ini, semoga saya seperti pertama kali dilahirkan kembali ke dunia, memiliki wacana dengan cerita dan kehidupan baru, lebih yakin, lebih bahagia, lebih tawakal dan lebih gigih berikhtiar. Siap menjalani hal-hal baru dengan cara dan motivasi yang baru. Tidak ada vonis terlambat ketika kita mulai bangkit. Mengikis dampak dari perasaan pernah merasakan legamnya duka lara masa lalu dan mengemudi diri untuk kembali berjalan meninggalkan keraguan  banyak arah yang kerap menduakan. Fokus pada satu tujuan dengan mewujudkan banyak impian.


“Kalau kita bisa yakin dengan sesuatu yang meragukan, mengapa kita tidak mudah yakin dengan sesuatu yang meyakinkan???”
”Kalau kita mampu ragu dengan sesuatu yang meyakinkan, mengapa kita tidak mampu meyakini untuk meninggalkan sesuatu yang meragukan???”


Begitulah kalimat ‘pencerna’ yang betul-betul membuat saya tersadar, merugi sekali menyia-nyiakan waktu yang berjalan pelan, berkesan singkat terasa. Mengingat kayuh jarum jam membawa banyak peluang, tapi sudah berapa banyak babak yang baru saja saya jajaki bagian awalnya namun sudah timbul berbagai rasa sesal. Sesal dampak atas deretan kejadian-kejadian hari kemarin yang begitu membelenggu masa kini dengan adanya kenangan, merujuk diri terdampar di sudut buntu genap mematikan langkah.


Hal yang pernah ada, seolah permanen dengan kilatnya menciutkan nyali saya untuk mendominasi masa depan dan memperbaiki sisi keyakinan saya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin segala sesuatunya atas kehendak Tuhan. Sukar bagi saya untuk kembali yakin menghadapi banyak pertautan di sepanjang jalan cerita yang saya lewati akibat kecewa yang meluruh terjal dari masa lalu. Keraguan pada akhirnya menjadi maya yang melata sepanjang musim setelah masa lampau, seenaknya pergi, berdiri sendiri dan mencoba berkilau.


Dan………..Saya terapung dengan jajaran Tanya tanpa jawab, dengan ejaan bungkam selaksa menjunjung banyak harap.


Astaghfirullah…sepertinya saya pada saat itu tidak mensyukuri kelebihan dan karunia yang Allah SWT anugrahkan kepada saya. Tidak ada yang sia-sia, justru saya berterima kasih atas peristiwa-peristiwa sebelum dari ini. Bersyukur karena adanya periode masa lampau, saya mendapati masa sekarang, masa  yang penuh dengan keberkahan dan kesadaran, masa yang menyajikan  pembelajaran diri yang hampir mencukupi, menciptakan peluang untuk membangun strategi mengahadapi kenyataan tanpa keluhan dan wujud kepasrahan.


Selamat datang kehidupan baru, di “Dua Puluh Tiga”, saya terlahir kembali untuk yang kedua kalinya,,
Selamat  memiliki saya Dunia baru, di “Dua Puluh Tiga”, saya hidup kembali untuk menjadi kawan yang setia berkawan,
untuk membentuk  cinta yang sederhana,
untuk menguatkan arti sahabat sejati,
untuk menciptakan karsa dari sepenggal kosa kata “saling”
saling berbagi, saling menyayangi, saling mengerti, saling mengoreksi, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran, saling gotong royong dalam menjalankan kebajikan dan saling melengkapi menuju kebaikan…


Selamat Hidup “Dua Puluh Tiga”, semoga melahirkan banyak karya, melimpah rasa.
Dan menetralisir ingatan agar mendaur ulang cipta kehidupan seputih awan pagi yang ikhlas mengatapi dunia.



Dua Puluh Tiga” membuat kemasan baru dalam diri saya, menyertakan tokoh-tokoh yang padamu…. suatu saat nanti akan saya akui,


“Sesungguhnya merekalah yang pantas disebut Sahabat Sejati : )” Tandas Ku kini…dalam hati.


Minggu, 07 November 2010

Jakarta 20102010


Jakarta Ku hampa, sepeninggalan dari singgahmu. Kapan kau bertandang dan kembali meninggalkan ingatan?? Kapan kau tiba lagi membawa beribu keranjang rindu yang ranum untukku??

Jakarta Ku meratap, merepih dipenghujung malam bertiang langit dengan kelambu hangat yang kau titipkan tengah malam, sebelum pergi transmigrasi sesaat. Bagaimana nanti kalau aku mengigau dan berkelakar tentangmu?? Apa masih mau mendengar celoteh alam bawah sadar ku???

Jakarta Ku bernyanyi, dengan nada seadanya dan ritme syahdu. Entah ini gumam atau merdu?? Kota ini tidak ceria lagi, penduduk intinya serasa sembunyi. Bagiku sunyi meski lalu lalang seperti gaduh menabuh ujung genderang.

Jakarta Ku Jakarta Mu. Simbol kemerdekaan kita berpetualang, memenangkan banyak peluang, bebas bersulang kopi dikala Jum’at sore membiarkan kita larut dalam sua, hanyut dalam kata. Nampaknya kesempatan itu dicipta tiada habisnya bertukar rasa, barter cerita.

Jakarta memanggil Mu, Jakarta Merindukan Mu... berjam-jam, berhari-hari tapi enggan berminggu-minggu ia berdiri tegak menanti. Meneropong, memperhatikan dan memandangi gelagatmu....sudahkah berkemas dan bergegas untuk kembali kesini??

Jakarta Kita bermuram,  dilahan malam sambil memikirkan keberadaan mu yang masih menerka hari, kapan sempat untuk datang lagi? Mendurja pada asa sambil melihatmu sibuk memikirkan satu alasan untuk minggu yang akan datang, agar bisa lepas dan pergi kestasiun, agar  bisa bermukim lama dan bertahan di jantung wilayahnya. Kau dipikat keraguan akibat disekat oleh ketidaksetujuan.

Lihat Jakarta Mu, sebenarnya dia lusuh menenangkan kerusuhan dalam dirinya. Karena kamu mengingatnya, ingin menjumpainya dan benar-benar datang hanya saat jum’at sore tiba. Namun dia lah kota yang paling pengertian, kota yang selalu berjuang merakit kesabaran. Sehingga apapun keadaanmu, suasana hatimu, ketika kamu menginjakkan kaki di aspalnya, ia senantiasa menyambut dengan sempurna.

Jakarta Ku dan Jakarta Mu....berdoa bersama, menyamakan permohonan agar kau mengunjungi mereka tidak dalam jangka sebulan 4 kali saja. Menjama’ahkan munajat agar kau tidak menjauhi mereka, tidak memusuhi kepadatan peristiwa yang terjadi didalamnya, pada akhirnya kembali menetap dan tidak mendua pada kota lain.


Jakarta mengenang Mu, sumringah mengingat Mu, selalu tersenyum dan bijaksana padamu. Sampai kapanpun bertekad tetap menunggumu hadir. Ingin merasakan manfaatmu lagi dan kebaikan yang ditanam subur diantara pondasi. Gedung tinggi bukan ukuran, rumah mewah bukan kebanggaan, namun silaturahmi dan apapun yang engkau lakukan disana lebih dari takar materi yang rapi berjajar di pusat kota.

Jakarta itu  proyek pertama Mu. Disana kamu membangun banyak bangunan cinta yang mencakar langit.  Dirancang dengan hati yang rumit, dikelola dengan keunikan mimpi mu disetiap interior ruang imaji yang melandasi mulianya rangkap rasa.

Jakarta adalah gambaran Mu, masa lalu Mu, kini bias bayangan Mu dan Akhirnya akan menjadi dirimu.  Kapan kau akan benar-benar menjadikannya sebagai “masa kini” dan tidak mendua lagi?

Sebab ia adalah kota cinta. satu-satunya kota yang mencintaimu, sebagai naungan indah saat awal mula kau terjebak cinta. Nampaknya kau mencintai banyak warga didalamnya, dan pemukiman dimana kau merasa dicintai, bahkan  tempat kamu menggali kecintaan pada cinta dan belajar untuk lebih dari sekedar tau, siapa itu cinta............

my first entri.


selamat datang, selamat menikmati, selamat membaca.

My Blog List.

My Followers

 

Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez